KATA PENGANTAR
Alhamdulillah,
segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang
berjudul “Desain Bahan Ajar Materi
Perbandingan Berbasis Pemahaman Matematis”.
Penyusunan proposal
ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyusunan skripsi untuk
menempuh ujian Sarjana Pendidikan pada Program Studi Matematika, Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Proposal ini
berisi rencana penelitian tentang mendesain bahan ajar dengan menggunakan penelitian desain didakdis atau Didactical Design Research (DDR).
Dalam penyusunan
proposal skripsi ini penulis telah mendapatkan bimbingan, arahan, bantuan,
serta dorongan dari berbagai pihak yang sangat berharga dan bermanfaat. Penulis
mengucapkan terima kasih yang kepada yang terhormat Cita
Dwi Rosita, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing.
Semoga budi baik semua
pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan proposal skripsi ini mendapat
berkah dari Allah SWT. Amin.
Harapan Penulis semoga
proposal skripsi ini dapat memperlancar penelitian dan penyusunan skripsi.
Proposal
ini terlepas dari segala kekurangannya, semoga bermanfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca pada umumnya.
Cirebon,
Januari 2017
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
A. Judul
B. Latar Belakang
Masalah
C. Identifikasi
Masalah
E. Tujuan
Penelitian
F. Manfaat
Penelitian
G. Kajian Teoritis
1. Hambatan
Belajar (Learning Obstacle)
2. Bahan Ajar
3. Modul
4. DDR (Didactical Design Research)
5. Teori Belajar
David Ausubel
6. Kemampuan
Pemahaman Matematis
7. Materi
Perbandingan
H. Metodologi
Penelitian
1. Metode
Penelitian
2. Desain
Penelitian
3. Subjek
Penelitian
4. Instrumen
Penelitian
5. Teknik
Pengumpulan Data
6. Teknik Analisis
Data
I. Daftar Pustaka
A.
Judul
Desain Bahan Ajar Perbandingan
Berbasis Pemahaman Matematis
B.
Latar
Belakang Masalah
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, Pasal 3, mengartikan tujuan pendidikan nasional adalah
mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Menurut Hakiim (2009: 100) Tujuan pembelajaran menggambarkan
bentuk tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah
proses pembelajaran. Sedangkan menurut Bloom (dalam Hakiim) bentuk perilaku
sebagai tujuan, digolongkan ke dalam tiga klasifikasi. Benyamin S, Bloom dan
kawan-kawan menamakan cara mengklasifikasi itu dengan “The taxonomy of education objectife”- Taksonomi tujuan pendidikan.
Bloom dan kawan-kawan berpendapat bahwa tujuan pendidikan/pembelajaran dapat
diklasifikasikan ke dalam tiga domein (disebut pula daerah, aspek, ranah, atau
matra), yaitu: (a) domein kognitif (pengetahuan); (b) domein afektif (sikap);
dan (c) domein psikomotor (keterampilan).
Demikian pula tujuan yang diharapkan oleh National Council of Teacher Mathematics (NCTM) Dalam pembelajaran
matematika. NCTM menempatkan lima standar
proses yang harus dimiliki oleh siswa yaitu kemampuan pemahanam,
kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi, kemampuan koneksi, dan kemampuan
pemecahan masalah.
Dalam pembelajaran matematika kemampuan pemahaman menjadi salah
satu yang harus dimiliki oleh siswa terlebih dahulu sebelum kemampuan-kemampuan
yang lainnya. Menurut Taksonomi Bloom (Hakiim, 2009: 101) dalam domein kognitif
terdapat enam tahap yaitu mengingat (remember),
memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create). Pemahaman atau memahami
merupakan tahap kedua setelah mengingat, jadi
untuk dapat memahami
sebuah konsep matematika siswa harus mempunyai daya ingat yang baik terlebih
dahulu.
Matematika sebagai ilmu
murni serta dasar baik dalam aspek terapan maupun aspek penalarannya mempunyai
peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan penguasaan sains dan
teknologi. Di samping matematika sebagai salah satu ilmu dasar bagi disiplin
ilmu lain, matematika juga berperan sebagai sarana bagi siswa agar mampu
berpikir logis, kritis dan sistematis. Selain itu, siswa juga harus mampu
memahami masalah dengan baik dan menerapkan pengetahuan matematika dalam
berbagai situasi masalah.
Oleh karena peranan
matematika begitu penting, maka siswa dituntut untuk dapat menguasai materi
matematika sedini mungkin. Namun banyak perspeksi orang menganggap matematika
sebagai ilmu yang abstrak, dan penuh teori serta membosankan. Untuk itu kita
sebagai guru harus bisa merubah anggapan siswa yang menganggap matematika itu
membosankan dengan mendesain bahan ajar yang akan dijelaskan kepada siswa
supaya siswa dapat dengan mudah memahami materi matematika dengan baik.
Kesulitan-kesuitan
belajar dalam mempelajari materi matematika masih sering terjadi. Istilah
kesulitan belajar inilah yang disebut sebagai learning obstacle. Salah satu materi matematika yang dapat
menimbulkan learning obstacle adalah
materi perbandingan.
Hasil kegiatan
observasi yang dilakukan oleh Kharimah dan Muhsetyo (2013) pada kelas VII SMP
menunjukkan learning obstacle pada materi perbandingan bahwa tedapat 19
siswa atau 59% siswa melakukan kesalahan konseptual, 15 siswa atau 47% siswa
melakukan kesalahan prosedural, dan 8 siswa atau 25% siswa melakukan kesalahan
kalkulasi. Selanjutnya, pada tahap siklus penelitian kembali ditemukan
kesulitan belajar yang dialami siswa selama kegiatan, antara lain: a) siswa
masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan pecahan senilai. Kesulitan
belajar ini dapat dikategorikan sebagai didactical obstacle atau ontogenic
obstacle; dan b) siswa kesulitan mengidentifikasi ciri-ciri perbandingan
berbalik nilai melalui pengamatan tabel pada kegiatan di lembar kerja siswa.
Kesulitan belajar ini dapat dikategorikan sebagai didactical obstacle atau
ontogenic obstacle. Hal ini mengindikasikan bahwa materi perbandingan
merupakan materi yang masih dirasa sulit oleh siswa. Kesulitan yang dialami
siswa dalam materi perbandingan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a)
siswa hanya menghafalkan rumus dan prosedur pengerjaan tanpa melakukan
pemahaman konsep; b) metode pembelajaran yang diterapkan adalah metode ceramah
dan pemberian soal dengan metode drill; c) tidak terbiasa melakukan
diskusi kelas; dan d) tidak terbiasa difasilitasi dengan media pembelajaran.
Penelitian yang
dilakukan oleh Desi Valindra (2015) Pada hasil identifikasi learning obstacle melalui analisis tiga
macam buku pelajaran matematika, diperoleh bahwa jenis learning obstacle yang paling banyak ditemukan adalah didactical obstacle, kemudian ontogenic obstacle dan epistemological obstacle. Ontogenic obstacle muncul karena
ketidaksiapan mental belajar siswa dalam memahami bahan ajar. Hal ini dapat
disebabkan pada pembelajaran materi perbandingan senilai dan berbalik nilai,
siswa tidak terlibat pada aksi-aksi yang membantu siswa untuk mengeksplor
pikirannya dalam memaknai materi yang nantinya dapat membantu siswa lebih peka
dalam menentukan bahwa suatu permasalahan itu termasuk kategori permasalahan
perbandingan senilai atau berbalik nilai.
Menurut Suryadi (2010)
Proses berpikir guru dalam konteks pembelajaran terjadi pada tiga fase yaitu
sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran berlangsung, dan setelah
pembelajaran. Kecenderungan proses berpikir sebelum pembelajaran yang lebih
berorientasi pada penjabaran tujuan berdampak pada proses penyiapan bahan ajar
serta minimnya antisipasi terutama yang bersifat didaktis. Untuk mengembangkan
pembelajaran perbandingan bersifat tekstual, selain proses repersonalisasi upaya lain yang perlu dilakukan seorang guru adalah
perlu menyusun desain didaktis sebagai langkah awal sebelum pembelajaran.
Desain didaktis merupakan suatu rancangan bahan ajar yang mendidik dan
membelajarkan siswa yang disusun berdasarkan penelitian mengenai learning obstacle suatu materi dalam
pembelajaran matematika. Oleh karena itulah untuk meminimalisir munculnya learning obstacle ini maka guru perlu
membuat suatu desain didaktis, dimana desain ini dikembangkan berdasarkan sifat
konsep yang akan disajikan dengan memperhatikan learning obstacle yang telah diidentifikasi.
Dengan membuat suatu
desain didaktis yang dikembangkan melalui learning
obstacle yang dialami oleh siswa pada suatu konsep tertentu pada
matematika, diharapkan dapat meminimalisir learning
obstacle sisiwa. Sehingga tujuan pembelajaran matematika sebagai salah satu
upaya mencapai tujuan pendidikan nasional pun dapat terwujud dengan baik dan
khususnya dengan adanya desain didaktis ini siswa dapat lebih memahami dan
mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya.
Oleh karena itu,
peneliti tertarik untuk menyusun suatu desain yang diharapkan mampu mengatasi learning obstacle tersebut. Sehingga
siswa tidak lagi mengalami kesulitan-kesulitan dalam memahami konsep
perbandingan. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai “Desain
Bahan Ajar Materi Perbandingan Berbasis Pemahaman Matematis”.
C.
Identifikasi
Masalah
dan Pembatasan Masalah
1. Learning obstacle
terkait pemahaman matematis dalam materi perbandingan.
2. Bahan
ajar yang belum membantu peserta didik dalam memahami suatu materi.
Adapun batasan masalah dari
permasalan di atas yaitu:
1. Desain
bahan ajar berupa modul.
2. Materi
perbandingan di kelas VII SMP.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalahnya yaitu
bagaimana mendesain bahan ajar materi perbandingan berbasis pemahaman matematis?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan
masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
mendeskripsikan desan bahan ajar materi perbandingan berbasis pemahaman
matematis.
F.
Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini
adalah sebagai berikut.
1. Bagi
peneliti
Mengetahui bagaimana
cara mendesain bahan ajar materi perbandingan berbasis pemahaman matematis
2. Bagi
guru
Diharapkan dapat
menciptakan pembelajaran matematika berdasarkan karakteristik siswa melalui
penelitian desain bahan ajar serta dapat merancang bahan ajar yang tepat
sehingga dapat mengatasi kesulitan-kesulitan saat proses pembelajaran dan dapat
meningkatkan prestasi belajar secara optimal, khususnya mengenai materi
perbandingan.
3. Bagi
siswa
Diharapkan dapat lebih
memahami konsep perbandingan dalam pembelajaran tanpa adanya kesalahan konsep
yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembelajaran matematika berikutnya.
G.
Kajian
Teoritis
1. Hambatan Belajar (Learning
Obstacle)
Learning
obstacle merupakan hambatan atau kesulitan siswa dalam proses
pembelajaran. Learning obstacle ini
akan terlihat ketika siswa melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan yang dilakukan
oleh siswa bukan hanya merupakan dampak dari ketidaktahuan atau pengabaian
terhadap pengalaman belajar yang telah dilalui oleh siswa sebelumnya, tetapi
juga dampak dari miskonsepsi siswa terhadap pengetahuan yang diperoleh
sebelumnya. Ketika siswa menjawab sebuah permasalahan dalam matematika, ia
merasa bisa menjawabnya dengan baik, padahal sebenarnya jawaban yang siswa
anggap benar adalah jawaban yang salah dan siswa tidak menyadari hal tersebut.
Kasus semacam inilah yang akhirnya disebut sebagai learning obstacle.
Menurut Brousseau
(Suratno, 2009: 2) terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan learning obstacle yang dialami oleh
siswa pada saat proses pembelajaran yaitu:
a.
Ontogenic Obstacle (Kesiapan Mental Belajar)
Dalam setiap tahap
perkembangan manusia, ada tugas-tugas yang harus diselesaikan sesuai periode
tertentu. Membangun pengetahuan dalam proses pembelajaran juga sudah
sepantasnya mengacu pada kemampuan dan tujuan perkembangan yang sesuai dengan
kesiapan anak akan menimbulkan learning
obstacle bagi anak itu sendiri. Learning
obstacle yang dimaksud adalah ontogenic
obstacle yang salah satu penyebabnya
adalah karena pembatasan konsep pembelajaran pada saat perkembangan anak.
b.
Didactical Obstacle (Akibat Pengajaran Guru)
Learning
obstacle dalam pembelajaran tidak hanya berasal dari
pemberian konsep yang salah ataupun pengajaran konsep yang tidak sesuai dengan
kesiapan anak, akan tetapi learning
obstacle juga terjadi akibat dari kekeliruan proses pembelajaran yang
berasal dari sistem pembelajaran di sekolah itu sendiri. Didactical obstacle disebabkan oleh cara guru membuat dan merancang
kurikulum untuk pembelajaran.
c.
Epistimological Obstacle (Pengetahuan Siswa yang Memiliki
Konteks Aplikasi yang Terbatas)
Menurut Duroux
(Suryadi, 2010: 11) epistimological obstacle
pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada
konteks tertentu. Jika orang tersebut dihadapkan pada konteks berbeda, maka
pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau dia mengalami
kesulitan untuk menggunakannya.
2. Bahan Ajar
Menurut Nurdin (2016:
102), bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka
mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Prastowo
(2014: 138), bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara
sistematis, baik tertulis maupun tidak, sehingga tercipta lingkungan atau
suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar.
Dari penjelasan di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan ajar secara umum pada dasarnya merupakan
bahan yang disusun secara sistematis baik itu informasi, alat pembelajaran,
maupun teks. Yang ditujukan kepada peserta didik agar terwujudnya tujuan dari
suatu pembelajaran.
Menurut Prastowo (2015:
40), bahan ajar dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1. Bahan
Ajar Menurut Bentuknya
a.
Bahan cetak (printed), bahan ajar yang telah disiapkan atau di cetak berupa
kertas, yang berfungsi sebagai keperluan pembelajaran. Contohnya handout, buku,
modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto atau gambar, dan
model atau maket.
b.
Bahan ajar dengar atau program audio,
semua system yang menggunakan sinyal radio secara langsung, yang dapat
dimainkan atau di dengar oleh seseorang atau sekelompok orang. Contohnya,
kaset, radio, compact disk audio.
c.
Bahan ajar pandang dengar (audiovisual), yakni segala sesuatu yang
memungkinkan sinyal radio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak
sekuensial. Contohnya, film dan video
compact disk.
d.
Bahan ajar interaktif (interactive teaching materials), yakni
kombinasi dari dua atau lebih media (audio, teks, grafik, gambar, animasi, dan
video) yang oleh penggunanya dimanipulasi atau diberi perlakuan untuk
mengendalikan suatu perintah dan/atau perilaku alami dari suatu presentasi.
Contohnya compack disk interactive.
2. Bahan
Ajar Menurut Cara Kerjanya
a.
Bahan ajar yang dapat diproyeksikan,
yakni bahan ajar tidak memerlukan perangkat proyektor untuk memproyeksika isi
di dalamnya, sehingga peserta didik bisa langsung menggunakan bahan ajar
tersebut. Contohnya, foto, diagram, display,
model, dan lain sebagainya.
b.
Bahan ajar yang diproyeksikan, yakni
bahan ajar yeng memerlukan proyektor agar bisa dimanfaatkan dan/atau dipelajari
peserta didik. Contohnya, slide, filmstrip, overhead transparencies,
dan proyeksi computer.
c.
Bahan ajar audio, yakni bahan ajar yang
berupa sinyal audio yang direkam dalam suatu media rekam. Untuk menggunkannya,
kita mesti memerlukan alat pemain (player)
media rekam tersebut, seperti tape compo,
CD player, VCD player, multimedia player, dan lain sebagainya.
d.
Bahan jar video , yakni bahan ajar yang
memerlukan alat pemutar yang biasanya berbentuk video tape recorder, VCD player, DVD player, dan sebagainya.
e.
Bahan ajar (media) computer, yakni
berbagai jenis bahan ajar noncetak yang membutuhkan komputer dalam menanyangkan
sesuatu untuk dipelajari. Contohnya, computer
mediated instruction dan computer
based multimedia atau hypermedia.
3. Bahan
Ajar Menurut Sifatnya
a.
Bahan ajar yang berbasiskan cetak,
misalnya buku, pamphlet, panduan belajar siswa, bahan tutorial, buku kerja
siswa, peta, charts, foto bahan dari
majalah serta koran, dan lain sebagainya.
b.
Bahan ajar yang berbasiskan teknologi,
misalnya audio cassette, siaran radio, slide,
filmstrip, film, video cassette,
siaran televise, video interaktif,
computer based tutorial, dan multimedia.
c.
Bahan ajar yang digunakan untuk praktik
atau proyek, misalnya kit sains, lembar observasi, lembar wawancara, dan lain
sebagainya.
d.
Bahan ajar yang dibutuhkan untuk
keperluan interaktif manusia (terutama untuk keperluan pendidikan jarak jauh)
misalnya telepon, hand phone, video
conferencing, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di
atas penulis bermaksud untuk membuat bahan ajar dalam bentuk modul. Modul disajikan
secara runtut dan sistematis yang di susun oleh seorang guru berisi
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang akan menuntun siswa dalam memahami materi
pembelajaran. Serta adanya petunjuk belajar yang akan memudahkan siswa untuk
menggunakannya.
3. Modul
Dalam buku Pedoman Umum
Pengembangan Bahan Ajar (Prastowo, 2015: 104), modul diartikan sebagai sebuah
buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri
tanpa atau bimbingan guru. Sedangkan menurut Trianto (2009: 227) buku siswa (modul,
diktat) merupakan buku panduan bagi siswa dalam kegiatan pembelajaran yang
memuat materi pelajaran, kegiatan penyelidikan berdasarkan konsep, kegiatan
sains, informasi, dan contoh-contoh penerapan sains dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam Surahman (Prastowo,
2015: 105) mengatakan bahwa modul adalah satuan program pembelajaran terkecil
yang dapat dipelajari oleh peserta didik secara perseorangan (self
instruksional); setelah peserta didik satu satuan dalam modul, selanjutnya
peserta dapat melangkah maju dan mempelajari satuan modul berikutnya.
Dari beberapa pandangan
diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa modul adalah suatu bahan ajar cetak
yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta
didik agar peserta didik dapat belajar secara mandiri dengan sedikit bantuan
dari pendidik.
Prastowo (2015: 110),
mengungkapkan jenis-jenis modul adalah sebagai berikut.
1. Menurut
Penggunanya
Dilihat dari
penggunanya, modul terbagi menjadi dua macam, yaitu modul untuk peserta didik
dan modul untuk pendidik. Modul untuk peserta didik berisi kegiatan belajar
yang dilakukan oleh peserta didik, sedangkan modul untuk pendidik berisi
petunjuk pendidik, tes akhir modul, dan kunci jawaban tes akhir modul.
2. Menurut
Tujuan Penyusunannya
a. Modul
Inti
Modul inti modul yang
disusun dari kurikulum dasar, yang merupakan tuntutan dari pendidikan dasar
umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara Indonesia.
b. Modul
Pengayaan
Modul pengayaan adalah
modul dari peyusunan unit-unit program pengayaan yang berasal dari program
pengayaan yang bersifat memperluas (dimensi horizontal) dan/atau memperdalam
(dimensi vertikal) program pendidikan dasar yang bersifat umum tersebut.
Prastowo (2015: 118)
juga mengungkapkan langkah-langkah penyusunan modul adalah sebagai berikut.
1. Analisis
Kurikulum
Tahap pertama ini
bertujuan untuk menentukan materi-materi mana yang memerlukan bahan ajar. Dalam
menentukan materi, analisis dilakukan dengan cara melihat inti materi yang
diajarkan serta kompetensi dan hasil belajar kritis yang harus dimiliki oleh
peserta didik (critical learning outcomes).
2. Menentukan
Judul Modul
Setelah analisis
kurikulum selesai dilakukan, tahapan berikutnya yaitu menentukan judul-judul
modul.
3. Pemberian
Kode Modul
Kode modul diperlukan
dalam pengelolaan modul. Pada umumnya, kode modul adalah angka-angka yang
diberi makna.
4. Penulisan
Modul
a. Perumusan
Kompetensi Dasar yang Harus Dikuasai
Rumusan kompetensi
dasar pada suatu modul adalah spesifikasi kualitas yang semestinya telah
dimiliki oleh peserta didik setelah mereka berhasil menyelesaikan modul
tersebut. Kompetensi dasar yang tercamtum dalam modul diambil dari pedoman
khusus kurikulum 2006.
b. Penentuan
Alat Evaluasi atau Penilaian
Poin ini adalah
mengenai criterium items, yaitu
sejumlah pertanyaan atau tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat
keberhasilan peserta didik dalam menguasai suatu kompetensi dasar dalam bentuk
tingkah laku.
c. Penyusunan
Materi
Materi atau isi modul
sangat bergantung pada kompetensi dasar yang akan dicapai.
d. Urutan
Pengajaran
Urutan pengajaran dapat diberikan
dalam petunjuk menggunakan modul.
e. Struktur
Bahan Ajar
Struktur modul dapat
bervariasi tergantung pada karakter materi yang disajikan, ketersediaan sumber
daya, dan kegiatan belajar yang bakal dilaksanakan.
4. DDR (Didactical Design Research)
Didaktis adalah sesuatu
yang menjadi penekanan dalam pembelajaran. Analisis didaktis sebelum
pembelajaran, difokuskan pada hubungan tiga serangkai antara guru, siswa, dan
materi sehingga dapat menjadi arahan dalam pelaksanaan pembelajaran. Hasil
analisis didaktis digunakan untuk proses pembuatan rancangan atau desain.
Desain didaktis
merupakan desain bahan ajar matematika yang memperhatikan respon siswa. Sebelum
proses pembelajaran, biasanya guru membuat rancangan pembelajaran agar urutan
aktivitas dan situasi didaktis dapat diupayakan sesuai dengan yang telah
direncanakan. Dalam mengembangkan desain didaktis, aktivitas guru dirancang
bukan hanya untuk berfokus kepada siswa maupun materi pembelajaran tetapi pada
hubungan antara siswa dengan materi pembelajaran.
Penelitian Didactical Design Reasearch (DDR)
adalah penelitian yang berdasarkan hasil analisis pada fase berfikir pendidik
saat pembelajaran. Dimana terdapat tiga fase yaitu sebelum pembelajaran, pada
saat pembelajaran berlangsung dan setelah pembelajaran. Suryadi (2013: 1)
Terdapat tiga
tahap dalam DDR:
1. Analisis
situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa Disain Dedaktis
Hipotesis termasuk Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP).
Pada tahap ini yang
dilakukan pendidik sebelum pembelajaran berupa pemikiran pendidik tentang
prediksi dan antisipasi terhadap respons siswa yang akan muncul pada situasi
didaktis yang akan dimunculkan pada saat pembelajaran. Suryadi (Martadiputra,
2013: 98).
2. Analisis
metapedadidaktik.
Pada tahap ini
dilakukan analisis saat pembelajaran yang dilakukan pendidik berupa kemampuan
pendidik tentang peristiwa pembelajaran untuk memandang antisipasi didaktis
pendagogis (ADP), hubungan didaktis (HD) dan hubungan pedagogis (HP) sebagai
suatu kesatuan yang utuh seperti digambarkan pada segitiga dedaktis yang
termodifikasi. Kemudian, pendidik mengembangkan tindakan sehingga situasi
didaktis dan pedagogis sesuai kebutuhan peserta didik tercipta,
mengidentifikasi serta menganalisis respons peserta didik yang terkena dampak
tindakan didaktis maupun pedagogis dan melakukan tindakan didaktis dan
pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respons peserta didik menuju
target pencapaian pembelajaran.
3. Analisis
retrosfektif, yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis
hipotesis dengan hasil analisis hasil metapedadidaktik.
Pada tahap ini pendidik
menganalisis terkait hasil analisis didaktis hipotesis dengan hasil analisis
metapedadidaktik berupa refleksi setelah pembelajaran.
5.
Teori
Belajar David Ausubel
Teori ini dikenal
dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai.
Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada
belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi
pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima
pelajaran begitu saja. Selain itu, pada belajar menghafal, siswa menghafalkan
materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah
diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih
dimengerti.
Menurut Ausubel
(Suherman, 2008: 5) belajar bermakna dapat dilakukan dengan metode ekspositori
(ceramah bervariasi) asal keempat ciri kebermaknaan dapat difasilitasi. Variasi
dari ekspositori tersebut bisa digabungkan dengan metode penemuan (inquiry) dengan tidak hanya belajar
menerima (reception learning) atau
belajar menghafal (rote learning).
Selain itu, menurut
Ausubel dan Novak (Dahar, 2011: 98),
bahwa ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:
a. Informasi
yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
b. Informasi
baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep yang relevan sebelumnya dapat
meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses
belajar mengajar berikutnya.
c. Informasi
yang telah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan
bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang
mirip walaupun telah terjadi “lupa”.
6.
Kemampuan
Pemahaman Matematis
Kemampuan pemahaman
matematis adalah kemampuan menyerap dan memahami ide-ide matematika (Lestari
dan Yudhanegara, 2015: 81). Indikator kemampuan pemahaman matematis, yaitu:
a. Mengidentifikasi
dan membuat contoh dan bukan contoh.
b. Menerjemahkan
dan menafsirkan makna symbol, table, diagram, gambar, grafik, serta kalimat
matematis.
c. Memahami
dan menerapkan ide matematis.
d. Membuat
suatu ekstrapolasi (pemikiran).
Menurut Hendriyana dan
Soemarmo (2014: 19) istilah pemahaman Asesmen sebagai terjemahan dari istilah mathematical understanding berbeda
dengan jenjang memahami dalam toksonomi Bloom. Dalam taksonomi Bloom, secara
umum indikator memahami matematik meliputi: mengenal dan menerapkan konsep,
prosedur, prinsip dan idea matematika dengan benar pada kasus sederhana. Beberapa
pakar menggolongkan tingkat kedalaman tuntutan kognitif pemahaman matematik
dalam beberapa tahap.
Polya (Hendriyana dan
Soemarmo, 2014: 20) membedakan kemampuan pemahaman menjadi empat tingkat,
yaitu:
a. Pemahaman mekanikal: dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara
rutin atau perhitungan sederhana;
b. Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana
dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa;
c. Pemahaman rasional: dapat membuktikan kebenaran sesuatu;
d. Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa
ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.
Pollatsek
( Hendriyana dan Soemarmo, 2014: 20) menggolongkan pemahaman dalam dua
tingkatan yaitu:
a.
Pemahaman komputasional: menerapkan
rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara
algoritmik. Kemampuan ini tergolong kemampuan tingkat rendah.
b.
Pemahaman fungsional: mengaitkan suatu
konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya, dan menyadari proses yang
dikerjakannya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.
Skemp
(Hendriyana dan Soemarmo, 2014: 20) menggolongkan pemahaman dalam dua tingkatan
yaitu:
a.
Pemahaman instrumental: hafal sesuatu
secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhana,
mengerjakan sesuatu secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong kemampuan
tingkat rendah.
b.
Pemahaman relasional: mengaitkan suatu
konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya. Kemampuan ini tergolong pada
kemampuan tingkat tinggi.
Copeland
(Hendriyana dan Soemarmo, 2014: 20) menggolongkan pemahaman dalam dua tingkatan
yaitu:
a.
Knowing how to: mengerjakan suatu
perhitungan secara rutin/algoritmik. Kemampuan ini tergolong kemampuan tingkat
rendah.
b.
Knowing: mengerjakan suatu perhitungan
secara sadar. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.
Dalam
penelitian ini, kemampuan yang akan diteliti yaitu menurut Skemp yang
indikatornya yaitu:
a.
Pemahaman instrumental
Rumusan
indikator pemahaman instrumental mencakup: (1) Kemampuan menyatakan ulang
konsep yang telah dipelajari; (2) Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma;
(3) Kemampuan memberikan contoh atau counter example dari konsep yang
telah dipelajari.
b.
Pemahaman relasional
Rumusan
indikator pemahaman relasional mencakup: (1) Kemampuan menyajikan konsep dalam
berbagai macam bentuk representasi matematika; (2) Kemampuan mengaitkan
berbagai konsep (internal dan eksternal matematika).
Adapun
contoh soal yang berkaitan dengan indikator pemahaman matematis di atas pada
materi perbandingan yaitu sebagai berikut.
a. Kemampuan
menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari
Contoh
soal:
Diketahui
skala suatu peta 1 : 1.500.000. Jika jarak kota A ke kota B pada peta tersebut
6 cm, tentukan jarak sebenarnya kota A ke kota B.
Soal
tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan menyatakan ulang konsep
yang telah dipelajari, karena siswa diharapkan dapat menyelesaikan soal
tersebut dengan mengubahnya ke bentuk konsep yang diketahuinya.
b.
Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma
Contoh soal:
Jarak antara kota A
dan kota B alah 350 km. Tentukan jarak kedua kota tersebut pada peta dengan
skala 1 : 650.000.
Soal
tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan menerapkan konsep secara
algoritma, karena siswa diharapkan dapat menyelesaikan perhitungan yang
sederhana secara algoritmik.
c. Kemampuan
memberikan contoh atau counter example dari konsep yang telah dipelajari
Contoh
soal:
Sebuah
peta dibuat sehingga jarak 4 cm mewakili 60 km. Tentukan
a. besar
skalanya:
b. jarak
sebenarnya, jika jarak pada peta 12 km:
c. jarak
pada peta, jika jarak sebenarnya 645 km.
Soal
tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan memberikan contoh atau counter
example dari konsep yang telah dipelajari, karena siswa diharapkan dapat
menyelidiki permasalahan berdasarkan pemahamannya terhadap konsep materi.
d. Kemampuan
menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika
Contoh
soal:
Jarak
antara dua kota dapat ditempuh dengan mobil selam 1 jam dengan kecepatan
rata-rata 90 km/jam. Buatlah table dari data tersebut, kemudian gambarlah
grafiknya.
Soal
tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan menyajikan konsep dalam
berbagai macam bentuk representasi matematika, karena siswa diharapkan
dapat menyelesaikan soal tersebut secara sistematis sesuai aturan agar dapat
mengubah tabel ke dalam bentuk grafik.
e.
Kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal
dan eksternal matematika).
Contoh
soal:
Sebuah
foto berukuran lebar 8 cm dan tinggi 12 cm akan dibuat bingkai dengan lebar 16
cm. Tentukan factor skala dan tinggi bingkai foto tersebut.
Soal
tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan mengaitkan berbagai konsep
(internal dan eksternal matematika), karena siswa diharapkan dapat
menyelesaikan soal tersebut dengan cara mengaitkannya terhadap konsep persamaan
linear satu variabel.
7.
Materi
Perbandingan
Berdasarkan latar belakang yang disajikan oleh
penulis, penulis hendak menyusun bahan ajar berbasis pemahaman matematis pada
materi perbandingan. Khususnya pada kompetensi dasar menggunakan perbandingan
untuk pemecahan masalah. Dimana kemampuan prasyarat yang seharusnya dikuasai
siswa sebelum belajar kompetensi dasar ini adalah siswa sudah dapat memahami
tentang operasi hitung pada pecahan.
Subbab dalam materi perbandingan adalah:
1. Gambar
berskala
2. Bentuk-bentuk
perbandingan
3. Memecahkan
masalah sehari-hari yang berkaitan dengan konsep perbandingan.
Desain didaktis yang dibuat ini bertujuan untuk
mengurangi kesulitan belajar dalam materi perbandingan.
H.
Metodologi
Penelitian
1.
Metode
Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu alternatif desain
pembelajaran terkait materi perbandingan yang dilatarbelakangi oleh adanya learning obstacle khususnya hambatan
epistimologis pada materi perbandingan. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah metode kualitatif.
Metode
kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama,
dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat
postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses
penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode
interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi
terhadap data yang ditemukan dilapangan (Sugiyono, 2015: 13-14).
2.
Desain
Penelitian
Desain merupakan
kerangka atau rancangan, pola yang menggambarkan alur dan arah penelitian
sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Desain penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini berupa Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research). Menurut Suryadi (2010: 12) Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research) adalah penelitian yang dilaksanakan
melalui tiga tahapan, yaitu:
a. Analisis
Situasi Didaktis
Tahap analisis
situasi didaktis yaitu sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa desain
didaktis hipotesis termasuk ADP analisis situasi didaktis.
1. Menentukan materi bahan ajar yang akan
dijadikan bahan penelitian dalam hal ini materi yang dipilih adalah materi
perbandingan.
2. Mencari data atau literature yang relevan
tentang materi terkait materi perbandingan.
3. Mempelajari dan menganalisis materi yang
telah ditentukan.
4. Menganalisis learning obstacle materi perbandingan dengan menggunakan soal-soal
yang telah disusun berdasarkan dengan indicator kemampuan pemahaman matematis
sehingga dapat memunculkan peserta didik mengenai materi perbandingan.
b. Analisis
metapedadidaktik
Tahapan analisis
metadidaktik yaitu tahapan pada saat pembelajaran berlangsung.
1.
Menganalisis hasil uji coba instrumen
learning obstacle dengan menghitung persentase banyaknya siswa yang mampu
mencapai indikator kemampuan representasi matematis.
2.
Membuat kesimpulan mengenai learning
obstacle yang muncul berdasarkan hasil pengujian dengan mengaitkan
konsep-konsep prasyarat.
3.
Menyususn bahan ajar berdasarkan
learning obstacle yang telah ditemukan dengan memperhatikan kompetensi
matematika yang dapat dikembangkan.
4.
Mengimplementasikan bahan ajar yang
telah disusun.
Karena penelitian yang
akan dilakukan peneliti hanya sampai tahap validiasi ahli maka penulis
melakukan penelitian sampai tahap metapedadidaktik.
3.
Subjek
Penelitian
Penelitian ini akan
dilakukan di SMP N 2 Sliyeg dengan subjek penelitian kelas VII semester II.
4.
Instrumen
Penelitian
Dalam
penelitian ini instrumen yang digunakan adalah tes, dan observasi.
a. Tes
Instrumen
tes digunakan untuk mengidentifikasi hambatan atau kekeliruan. Instrumen tes
tersebut disusun berdasarkan indikator-indikator kemampuan pemahaman matematis
menurut skemp yang dikaitkan dengan materi perbandingan.
Bentuk
tes yang digunakan adalah tes uraian. Bentuk tes uraian digunakan agar
kemampuan pemahaman matematis siswa dalam menyelesaikan persoalan dapat
terlihat dengan jelas, yaitu dapat menerapkan suatu konsep dan mengaitkan suatu
konsep dengan yang lainnya.
Dalam
pengolahan tes yang baik perlu diperhatikan baik atau buruknya soal yang akan
digunakan dalam tes tersebut. Untuk menyelidiki baik buruknya soal harus
dilakukan uji coba. Uji coba instrument tersebut meliputi tingkat validitas,
reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukaran.
a. Menentukan validitas soal
Menurut
Sugiyono (2015: 173) instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan
untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut
dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dalam
penentuan tingkat validitas butir soal maka rumus korelasi yang digunakan yaitu
rumus Pearson Produk Moment dengan
angka kasar, menurut Arikunto (2010: 171) menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
X = Nilai hasil uji coba
Y = Skor total tiap responden
N = Banyak siswa yang mengikuti tes
Tabel 1
Klasifikasi Koefisien Validitas
No.
|
Nilai
|
Interpretasi
|
1.
|
0,80 ≤
|
Validitas
sangat tinggi
|
2.
|
0,60 ≤
|
Validitas
tinggi
|
3.
|
0,40 ≤
|
Validitas
sedang
|
4.
|
0,20 ≤
|
Validitas
rendah
|
5.
|
0,00 ≤
|
Validitas
sangat rendah
|
Arikunto (2012: 89)
b.
Menentukan
Reliabilitas Soal
Menurut Sugiyono
(2015: 173) instrument yang reliabel adalah instrument yang bila digunakan
beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama.
Menurut Arikunto (2012: 122) untuk menghitung reliabilitas soal dapat
menggunakan rumus Alpha Cronbach,
yaitu:
Keterrangan:
n = Banyak butir soal (item)
Sedangkan
untuk menghitung varians skor digunakan rumus:
Keterangan:
N = Banyaknya sampel/peserta tes.
Tabel 2
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
No.
|
Nilai
|
Interpretasi
|
1.
|
0,90 ≤
|
Sangat Tinggi
|
2.
|
0,70 ≤
|
Tinggi
|
3.
|
0,40 ≤
|
Sedang
|
4.
|
0,20 ≤
|
Rendah
|
5.
|
Sangat
Rendah
|
Sumber:
Jihad dan Haris (2012: 181)
c.
Menentukan
Daya Pembeda
Daya pembeda soal
adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai
(berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (kemampuan rendah) (Arikunto,
2012: 226).
Artinya, jika soal
tersebut diberikan kepada siswa yang mampu, hasilnya menunjukkan prestasi yang
tinggi dan jika diberikan kepada siswa yang lemah hasilnya menunjukkan prestasi
yang rendah. Adapun untuk menghitung daya pembeda menurut Jihad dan Haris (2012:
189) menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
Tabel
3
Klasifikasi
Daya Pembeda
No.
|
Daya
Pembeda
|
Interpretasi
|
1.
|
DP
≤ 0,19
|
Jelek
|
2.
|
0,20
≤ DP < 0,29
|
Minimum
|
3.
|
0,30
≤ DP < 0,39
|
Cukup baik
|
4.
|
DP
|
Sangat baik
|
Ruseffendi
(Jihad dan Haris, 2012: 181)
d.
Menentukan
Indeks Kesukaran
Menurut Arifin (2014: 134) tingkat kesukaran soal
adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu
yang biasanya dinyatakan dengan indeks. Indeks ini biasanya dinyatakan dengan
sebuah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal.
Untuk menghitung indeks
tingkat kesukaran soal menurut Jihad dan Haris (2012: 182) menggunakan rumus
sebagai berikut.
Keterangan:
Tabel
4
Klasifikasi
Indeks Kesukaran
No.
|
Indeks
Kesukaran
|
Interpretasi
|
1.
|
0,00 ≤ IK < 0,30
|
Sukar
|
2.
|
0,31 ≤ IK < 0,70
|
Sedang
|
3.
|
0,71 ≤ IK< 1,00
|
Mudah
|
Arikunto (2012: 225)
b.
Observasi
Menurut Arikunto
(2010: 271), penggunaan format pengamatan sebagai instrument adalah cara yang
palig efektif dalam menggunakan metode observasi.
5. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pemgumpulan data
dalam penelitian ini berupa studi lapangan dan studi literatur. Secara khusus
teknik pengumpulan data berupa tes dan observasi.
Lembar instrumen berupa tes ini berisi soal-soal tes
yang terdiri atas butir-butir soal. Setiap butir soal mewakili satu jenis
variabeL yang diukur. Tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta didik
mampu mencapai pembelajaran menggunakan kemampuan pemahaman. Observasi dilakukan
secara langsung selama pengujian soal berlangsung.
6.
Teknik
Analisis Data
Teknik
analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:
a.
Analisis Hasil Uji Instrumen Learning Obstacle
Data yang
diperoleh sebelum menuju lapangan melalui uji instrument untuk mencari learning obstacle dianalisis dengan
menghitung presentase distribusi siswa yang mampu mencapai indikator yang
ditetapkan dalam soal.
Menghitung presentase dengan rumus berikut:
Selanjutnya, untuk menghitung presentase seluruh subjek
digunakan rumus berikut:
Keterangan:
P =
presentase
F =
jumlah presentase keseluruhan objek
N =
jumlah subjek
Kriteria yang digunakan dalam bahan ajar
ini menggunakan skala Likert.
Tabel 5
Kriteria Penskoran Validasi Bahan Ajar
No
|
Presentase
|
Interpretasi
|
1
|
0%
- 20%
|
Sangat
tidak valid
|
2
|
21%
- 40%
|
Tidak
valid
|
3
|
41%
- 60%
|
Kurang
valid
|
4
|
61%
- 80%
|
Valid
|
5
|
81%
- 100%
|
Sangat
valid
|
Sumber: Akdon dan Riduwan
(2007: 89)
b.
Analisis Hasil Validasi Bahan Ajar oleh
Para Ahli
Hasil validasi
oleh masing-masing subyek dihitung prosentasenya. Dapat dihitung dengan
menggunakan rumus Akbar (2013: 83)
Keterangan:
Tabel
6
Kriteria
Penskoran Validasi Bahan Ajar
No.
|
Kriteria Validitas
|
Tingkat Validitas
|
1.
|
85,01% - 100,00%
|
Sangat
valid, atau dapat digunakan tanpa revisi
|
2.
|
70,01% - 85,00%
|
Cukup valid, atau dapat digunakan namun
perlu direvisi kecil
|
3.
|
50,01% - 70,00%
|
Kurang valid, disarankan tidak
dipergunakan karena perlu revisi besar
|
4.
|
01,00% - 50,00%
|
Tidak valid, atau tidak boleh
dipergunakan
|
Sumber: Akbar (2013:
83)
I.
Daftar Pustaka
Akbar,
Sa’dun. (2013). Instrumen Perangkat
Pembelajaran. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Rosdakarya.
Akdon dan Riduwan.
(2007). Rumus dan Data
Dalam Analisis Statistik. Bandung:
Alfabeta.
Alfabeta.
Arikunto,
Suharsimi. (2012). Prosedur Penelitian:
Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Erlangga.
Gofur, Abdul.
(2012). Desain Pembelajaran: Konsep,
Model, dan Aplikasi dalam
Perencanaan Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak.
Perencanaan Pembelajaran. Yogyakarta: Ombak.
Hakiim, Lukmanul.
(2009). Perencanaan Pembelajaran.
Bandung: Wacana Prima.
Hendriana, H dan Soemarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika.
Bandung: Refika Aditama.
Bandung: Refika Aditama.
Jihad, Asep dan Abdul Haris. (2012). Evaluasi
Pembelajaran. Yogyakarta: Multi
Presindo.
Presindo.
Kharimah, U. dan
Muhsetyo G. (2013). Penggunaan Media Peta Untuk
Memahamkan Materi Perbandingan Melalui Pembelajaran Kooperatif
Tipe Grup Investigasi Pada Siswa Kelas VII-A SMP Negeri 2 Jetis
Kabupaten Mojokerto. Jurnal Universitas Negeri Malang, hal 1-13.
Memahamkan Materi Perbandingan Melalui Pembelajaran Kooperatif
Tipe Grup Investigasi Pada Siswa Kelas VII-A SMP Negeri 2 Jetis
Kabupaten Mojokerto. Jurnal Universitas Negeri Malang, hal 1-13.
Lestari, K E dan Yudhanegara M R.
(2015). Penelitian Pendidikan Matematika.
Bandung: Refika Aditama.
Bandung: Refika Aditama.
Majid, Abdul. (2013). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan
Standar
Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Posdakarya.
Kompetensi Guru. Bandung: Remaja Posdakarya.
Prastowo, Andi. (2014). Pengembangan Bahan Ajar Tematik Tinjauan
Teoritis
dan Praktek. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
dan Praktek. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Prastowo, Andi. (2015). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.
Jogjakarta: Diva Press.
Jogjakarta: Diva Press.
Sardiman. (2016). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali
Pres.
Pres.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif Dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Kualitatif Dan R&D). Bandung: Alfabeta.
Suherman, E. (2008). Belajar dan Pembelajaran Matematika Hand-out Perkuliahan.
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Bandung: Tidak Diterbitkan.
Sumiati dan Asra. (2008). Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Suryadi,
Didi. (2013). Didactical Design Reasearch
(DDR) dalam Pengembangan
Pembelajaran Matematika. Seminar UNES. Bandung: FMIPA UPI.
Pembelajaran Matematika. Seminar UNES. Bandung: FMIPA UPI.
Trianto. (2009). Mendesain
model pembelajaran inovatif-progresif: konsep
landasan, dan implementasinya pada kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
landasan, dan implementasinya pada kurikulum tingkat satuan pendidikan
(KTSP). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Valindra, Desi. (2015). Desain Didaktis Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai
pada Siswa SMP Ditinjau dari Learning Obstacle dan Learning Trajectory.
Skripsi Sarjana Di FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
pada Siswa SMP Ditinjau dari Learning Obstacle dan Learning Trajectory.
Skripsi Sarjana Di FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
0 Comments: