Tuesday, March 12, 2019

Proposal Skripsi "Desain Bahan Ajar Perbandingan Berbasisi Pemahaman Matematis"

KATA PENGANTAR


Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal yang berjudul “Desain Bahan Ajar Materi Perbandingan Berbasis Pemahaman Matematis”.
Penyusunan proposal ini ditujukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyusunan skripsi untuk menempuh ujian Sarjana Pendidikan pada Program Studi Matematika, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon.
Proposal ini berisi rencana penelitian tentang mendesain bahan ajar dengan menggunakan penelitian desain didakdis atau Didactical Design Research (DDR).
Dalam penyusunan proposal skripsi ini penulis telah mendapatkan bimbingan, arahan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak yang sangat berharga dan bermanfaat. Penulis mengucapkan terima kasih yang kepada yang terhormat Cita  Dwi Rosita, M.Pd. selaku Dosen Pembimbing.
Semoga budi baik semua pihak yang telah membantu penulis dalam pembuatan proposal skripsi ini mendapat berkah dari Allah SWT. Amin.
Harapan Penulis semoga proposal skripsi ini dapat memperlancar penelitian dan penyusunan skripsi.
Proposal ini terlepas dari segala kekurangannya, semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.


Cirebon,    Januari 2017

           Penulis

DAFTAR ISI



HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR.. i
DAFTAR ISI. ii
A.     Judul 1
B.     Latar Belakang Masalah. 1
C.     Identifikasi Masalah. 4
E.     Tujuan Penelitian. 4
F.      Manfaat Penelitian. 5
G.          Kajian Teoritis. 5
1.      Hambatan Belajar  (Learning Obstacle). 5
2.      Bahan Ajar. 6
3.      Modul 9
4.      DDR (Didactical Design Research). 11
5.      Teori Belajar David Ausubel 15
6.      Kemampuan Pemahaman Matematis. 15
7.      Materi Perbandingan. 19
H.          Metodologi Penelitian. 20
1.      Metode Penelitian. 20
2.      Desain Penelitian. 20
3.      Subjek Penelitian. 21
4.      Instrumen Penelitian. 21
5.      Teknik Pengumpulan Data. 23
6.      Teknik Analisis Data. 24
I.       Daftar Pustaka. 25



A.    Judul
Desain Bahan Ajar Perbandingan Berbasis Pemahaman Matematis
B.     Latar Belakang Masalah
      Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, mengartikan tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
      Menurut Hakiim (2009: 100) Tujuan pembelajaran menggambarkan bentuk tingkah laku atau kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki siswa setelah proses pembelajaran. Sedangkan menurut Bloom (dalam Hakiim) bentuk perilaku sebagai tujuan, digolongkan ke dalam tiga klasifikasi. Benyamin S, Bloom dan kawan-kawan menamakan cara mengklasifikasi itu dengan “The taxonomy of education objectife”- Taksonomi tujuan pendidikan. Bloom dan kawan-kawan berpendapat bahwa tujuan pendidikan/pembelajaran dapat diklasifikasikan ke dalam tiga domein (disebut pula daerah, aspek, ranah, atau matra), yaitu: (a) domein kognitif (pengetahuan); (b) domein afektif (sikap); dan (c) domein psikomotor (keterampilan).
      Demikian pula tujuan yang diharapkan oleh National Council of Teacher Mathematics (NCTM) Dalam pembelajaran matematika. NCTM menempatkan lima standar  proses yang harus dimiliki oleh siswa yaitu kemampuan pemahanam, kemampuan penalaran, kemampuan komunikasi, kemampuan koneksi, dan kemampuan pemecahan masalah.
      Dalam pembelajaran matematika kemampuan pemahaman menjadi salah satu yang harus dimiliki oleh siswa terlebih dahulu sebelum kemampuan-kemampuan yang lainnya. Menurut Taksonomi Bloom (Hakiim, 2009: 101) dalam domein kognitif terdapat enam tahap yaitu mengingat (remember), memahami (understand), menerapkan (apply), menganalisis (analyze), mengevaluasi (evaluate), dan mencipta (create). Pemahaman atau memahami merupakan tahap kedua setelah mengingat, jadi



untuk dapat memahami sebuah konsep matematika siswa harus mempunyai daya ingat yang baik terlebih dahulu.
Matematika sebagai ilmu murni serta dasar baik dalam aspek terapan maupun aspek penalarannya mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya meningkatkan penguasaan sains dan teknologi. Di samping matematika sebagai salah satu ilmu dasar bagi disiplin ilmu lain, matematika juga berperan sebagai sarana bagi siswa agar mampu berpikir logis, kritis dan sistematis. Selain itu, siswa juga harus mampu memahami masalah dengan baik dan menerapkan pengetahuan matematika dalam berbagai situasi masalah.
Oleh karena peranan matematika begitu penting, maka siswa dituntut untuk dapat menguasai materi matematika sedini mungkin. Namun banyak perspeksi orang menganggap matematika sebagai ilmu yang abstrak, dan penuh teori serta membosankan. Untuk itu kita sebagai guru harus bisa merubah anggapan siswa yang menganggap matematika itu membosankan dengan mendesain bahan ajar yang akan dijelaskan kepada siswa supaya siswa dapat dengan mudah memahami materi matematika dengan baik.
Kesulitan-kesuitan belajar dalam mempelajari materi matematika masih sering terjadi. Istilah kesulitan belajar inilah yang disebut sebagai learning obstacle. Salah satu materi matematika yang dapat menimbulkan learning obstacle adalah materi perbandingan.
Hasil kegiatan observasi yang dilakukan oleh Kharimah dan Muhsetyo (2013) pada kelas VII SMP menunjukkan learning obstacle pada materi perbandingan bahwa tedapat 19 siswa atau 59% siswa melakukan kesalahan konseptual, 15 siswa atau 47% siswa melakukan kesalahan prosedural, dan 8 siswa atau 25% siswa melakukan kesalahan kalkulasi. Selanjutnya, pada tahap siklus penelitian kembali ditemukan kesulitan belajar yang dialami siswa selama kegiatan, antara lain: a) siswa masih belum mengerti apa yang dimaksud dengan pecahan senilai. Kesulitan belajar ini dapat dikategorikan sebagai didactical obstacle atau ontogenic obstacle; dan b) siswa kesulitan mengidentifikasi ciri-ciri perbandingan berbalik nilai melalui pengamatan tabel pada kegiatan di lembar kerja siswa. Kesulitan belajar ini dapat dikategorikan sebagai didactical obstacle atau ontogenic obstacle. Hal ini mengindikasikan bahwa materi perbandingan merupakan materi yang masih dirasa sulit oleh siswa. Kesulitan yang dialami siswa dalam materi perbandingan disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: a) siswa hanya menghafalkan rumus dan prosedur pengerjaan tanpa melakukan pemahaman konsep; b) metode pembelajaran yang diterapkan adalah metode ceramah dan pemberian soal dengan metode drill; c) tidak terbiasa melakukan diskusi kelas; dan d) tidak terbiasa difasilitasi dengan media pembelajaran.
Penelitian yang dilakukan oleh Desi Valindra (2015) Pada hasil identifikasi learning obstacle melalui analisis tiga macam buku pelajaran matematika, diperoleh bahwa jenis learning obstacle yang paling banyak ditemukan adalah didactical obstacle, kemudian ontogenic obstacle dan epistemological obstacle. Ontogenic obstacle muncul karena ketidaksiapan mental belajar siswa dalam memahami bahan ajar. Hal ini dapat disebabkan pada pembelajaran materi perbandingan senilai dan berbalik nilai, siswa tidak terlibat pada aksi-aksi yang membantu siswa untuk mengeksplor pikirannya dalam memaknai materi yang nantinya dapat membantu siswa lebih peka dalam menentukan bahwa suatu permasalahan itu termasuk kategori permasalahan perbandingan senilai atau berbalik nilai.
Menurut Suryadi (2010) Proses berpikir guru dalam konteks pembelajaran terjadi pada tiga fase yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran berlangsung, dan setelah pembelajaran. Kecenderungan proses berpikir sebelum pembelajaran yang lebih berorientasi pada penjabaran tujuan berdampak pada proses penyiapan bahan ajar serta minimnya antisipasi terutama yang bersifat didaktis. Untuk mengembangkan pembelajaran perbandingan bersifat tekstual, selain proses repersonalisasi upaya lain yang perlu dilakukan seorang guru adalah perlu menyusun desain didaktis sebagai langkah awal sebelum pembelajaran. Desain didaktis merupakan suatu rancangan bahan ajar yang mendidik dan membelajarkan siswa yang disusun berdasarkan penelitian mengenai learning obstacle suatu materi dalam pembelajaran matematika. Oleh karena itulah untuk meminimalisir munculnya learning obstacle ini maka guru perlu membuat suatu desain didaktis, dimana desain ini dikembangkan berdasarkan sifat konsep yang akan disajikan dengan memperhatikan learning obstacle yang telah diidentifikasi.
Dengan membuat suatu desain didaktis yang dikembangkan melalui learning obstacle yang dialami oleh siswa pada suatu konsep tertentu pada matematika, diharapkan dapat meminimalisir learning obstacle sisiwa. Sehingga tujuan pembelajaran matematika sebagai salah satu upaya mencapai tujuan pendidikan nasional pun dapat terwujud dengan baik dan khususnya dengan adanya desain didaktis ini siswa dapat lebih memahami dan mengaplikasikan konsep yang dipelajarinya.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menyusun suatu desain yang diharapkan mampu mengatasi learning obstacle tersebut. Sehingga siswa tidak lagi mengalami kesulitan-kesulitan dalam memahami konsep perbandingan. Berdasarkan uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Desain Bahan Ajar Materi Perbandingan Berbasis Pemahaman Matematis”.           
C.    Identifikasi Masalah dan Pembatasan Masalah
1.      Learning obstacle terkait pemahaman matematis dalam materi perbandingan.
2.      Bahan ajar yang belum membantu peserta didik dalam memahami suatu materi.
Adapun batasan masalah dari permasalan di atas yaitu:
1.      Desain bahan ajar berupa modul.
2.      Materi perbandingan di kelas VII SMP.
D.    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalahnya yaitu bagaimana mendesain bahan ajar materi perbandingan berbasis pemahaman matematis?


E.     Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan desan bahan ajar materi perbandingan berbasis pemahaman matematis.
F.     Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagi peneliti
Mengetahui bagaimana cara mendesain bahan ajar materi perbandingan berbasis pemahaman matematis
2.      Bagi guru
Diharapkan dapat menciptakan pembelajaran matematika berdasarkan karakteristik siswa melalui penelitian desain bahan ajar serta dapat merancang bahan ajar yang tepat sehingga dapat mengatasi kesulitan-kesulitan saat proses pembelajaran dan dapat meningkatkan prestasi belajar secara optimal, khususnya mengenai materi perbandingan.
3.      Bagi siswa
Diharapkan dapat lebih memahami konsep perbandingan dalam pembelajaran tanpa adanya kesalahan konsep yang dapat mengakibatkan terhambatnya pembelajaran matematika berikutnya.
G.    Kajian Teoritis
1.       Hambatan Belajar  (Learning Obstacle)
Learning obstacle merupakan hambatan atau kesulitan siswa dalam proses pembelajaran. Learning obstacle ini akan terlihat ketika siswa melakukan sebuah kesalahan. Kesalahan yang dilakukan oleh siswa bukan hanya merupakan dampak dari ketidaktahuan atau pengabaian terhadap pengalaman belajar yang telah dilalui oleh siswa sebelumnya, tetapi juga dampak dari miskonsepsi siswa terhadap pengetahuan yang diperoleh sebelumnya. Ketika siswa menjawab sebuah permasalahan dalam matematika, ia merasa bisa menjawabnya dengan baik, padahal sebenarnya jawaban yang siswa anggap benar adalah jawaban yang salah dan siswa tidak menyadari hal tersebut. Kasus semacam inilah yang akhirnya disebut sebagai learning obstacle.
Menurut Brousseau (Suratno, 2009: 2) terdapat tiga faktor yang dapat menyebabkan learning obstacle yang dialami oleh siswa pada saat proses pembelajaran yaitu:
a.      Ontogenic Obstacle (Kesiapan Mental Belajar)
Dalam setiap tahap perkembangan manusia, ada tugas-tugas yang harus diselesaikan sesuai periode tertentu. Membangun pengetahuan dalam proses pembelajaran juga sudah sepantasnya mengacu pada kemampuan dan tujuan perkembangan yang sesuai dengan kesiapan anak akan menimbulkan learning obstacle bagi anak itu sendiri. Learning obstacle yang dimaksud adalah ontogenic obstacle yang salah satu penyebabnya adalah karena pembatasan konsep pembelajaran pada saat perkembangan anak.
b.      Didactical Obstacle (Akibat Pengajaran Guru)
Learning obstacle dalam pembelajaran tidak hanya berasal dari pemberian konsep yang salah ataupun pengajaran konsep yang tidak sesuai dengan kesiapan anak, akan tetapi learning obstacle juga terjadi akibat dari kekeliruan proses pembelajaran yang berasal dari sistem pembelajaran di sekolah itu sendiri. Didactical obstacle disebabkan oleh cara guru membuat dan merancang kurikulum untuk pembelajaran.
c.       Epistimological Obstacle (Pengetahuan Siswa yang Memiliki Konteks Aplikasi yang Terbatas)
Menurut Duroux (Suryadi, 2010: 11) epistimological obstacle pada hakekatnya merupakan pengetahuan seseorang yang hanya terbatas pada konteks tertentu. Jika orang tersebut dihadapkan pada konteks berbeda, maka pengetahuan yang dimiliki menjadi tidak bisa digunakan atau dia mengalami kesulitan untuk menggunakannya.
2.      Bahan Ajar
Menurut Nurdin (2016: 102), bahan ajar atau materi pembelajaran secara garis besar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang harus dipelajari siswa dalam rangka mencapai standar kompetensi yang telah ditentukan. Sedangkan menurut Prastowo (2014: 138), bahan ajar merupakan seperangkat materi yang disusun secara sistematis, baik tertulis maupun tidak, sehingga tercipta lingkungan atau suasana yang memungkinkan peserta didik untuk belajar.
Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bahan ajar secara umum pada dasarnya merupakan bahan yang disusun secara sistematis baik itu informasi, alat pembelajaran, maupun teks. Yang ditujukan kepada peserta didik agar terwujudnya tujuan dari suatu pembelajaran.
Menurut Prastowo (2015: 40), bahan ajar dapat diklasifikasikan menjadi 3, yaitu:
1.      Bahan Ajar Menurut Bentuknya
a.       Bahan cetak (printed), bahan ajar yang telah disiapkan atau di cetak berupa kertas, yang berfungsi sebagai keperluan pembelajaran. Contohnya handout, buku, modul, lembar kerja siswa, brosur, leaflet, wallchart, foto atau gambar, dan model atau maket.
b.      Bahan ajar dengar atau program audio, semua system yang menggunakan sinyal radio secara langsung, yang dapat dimainkan atau di dengar oleh seseorang atau sekelompok orang. Contohnya, kaset, radio, compact disk audio.
c.       Bahan ajar pandang dengar (audiovisual), yakni segala sesuatu yang memungkinkan sinyal radio dapat dikombinasikan dengan gambar bergerak sekuensial. Contohnya, film dan video compact disk.
d.      Bahan ajar interaktif (interactive teaching materials), yakni kombinasi dari dua atau lebih media (audio, teks, grafik, gambar, animasi, dan video) yang oleh penggunanya dimanipulasi atau diberi perlakuan untuk mengendalikan suatu perintah dan/atau perilaku alami dari suatu presentasi. Contohnya compack disk interactive.
2.      Bahan Ajar Menurut Cara Kerjanya
a.       Bahan ajar yang dapat diproyeksikan, yakni bahan ajar tidak memerlukan perangkat proyektor untuk memproyeksika isi di dalamnya, sehingga peserta didik bisa langsung menggunakan bahan ajar tersebut. Contohnya, foto, diagram, display, model, dan lain sebagainya.
b.      Bahan ajar yang diproyeksikan, yakni bahan ajar yeng memerlukan proyektor agar bisa dimanfaatkan dan/atau dipelajari peserta didik.  Contohnya, slide, filmstrip, overhead transparencies, dan proyeksi computer.
c.       Bahan ajar audio, yakni bahan ajar yang berupa sinyal audio yang direkam dalam suatu media rekam. Untuk menggunkannya, kita mesti memerlukan alat pemain (player) media rekam tersebut, seperti tape compo, CD player, VCD player, multimedia player, dan lain sebagainya.
d.      Bahan jar video , yakni bahan ajar yang memerlukan alat pemutar yang biasanya berbentuk video tape recorder, VCD player, DVD player, dan sebagainya.
e.       Bahan ajar (media) computer, yakni berbagai jenis bahan ajar noncetak yang membutuhkan komputer dalam menanyangkan sesuatu untuk dipelajari. Contohnya, computer mediated instruction dan computer based multimedia atau hypermedia.
3.      Bahan Ajar Menurut Sifatnya
a.       Bahan ajar yang berbasiskan cetak, misalnya buku, pamphlet, panduan belajar siswa, bahan tutorial, buku kerja siswa, peta, charts, foto bahan dari majalah serta koran, dan lain sebagainya.
b.      Bahan ajar yang berbasiskan teknologi, misalnya audio cassette, siaran radio, slide, filmstrip, film, video cassette, siaran televise, video interaktif, computer based tutorial, dan multimedia.
c.       Bahan ajar yang digunakan untuk praktik atau proyek, misalnya kit sains, lembar observasi, lembar wawancara, dan lain sebagainya.
d.      Bahan ajar yang dibutuhkan untuk keperluan interaktif manusia (terutama untuk keperluan pendidikan jarak jauh) misalnya telepon, hand phone, video conferencing, dan lain sebagainya.
Berdasarkan uraian di atas penulis bermaksud untuk membuat bahan ajar dalam bentuk modul. Modul disajikan secara runtut dan sistematis yang di susun oleh seorang guru berisi kegiatan-kegiatan pembelajaran yang akan menuntun siswa dalam memahami materi pembelajaran. Serta adanya petunjuk belajar yang akan memudahkan siswa untuk menggunakannya.
3.      Modul
Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Bahan Ajar (Prastowo, 2015: 104), modul diartikan sebagai sebuah buku yang ditulis dengan tujuan agar peserta didik dapat belajar secara mandiri tanpa atau bimbingan guru. Sedangkan menurut Trianto (2009: 227) buku siswa (modul, diktat) merupakan buku panduan bagi siswa dalam kegiatan pembelajaran yang memuat materi pelajaran, kegiatan penyelidikan berdasarkan konsep, kegiatan sains, informasi, dan contoh-contoh penerapan sains dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam Surahman (Prastowo, 2015: 105) mengatakan bahwa modul adalah satuan program pembelajaran terkecil yang dapat dipelajari oleh peserta didik secara perseorangan (self instruksional); setelah peserta didik satu satuan dalam modul, selanjutnya peserta dapat melangkah maju dan mempelajari satuan modul berikutnya.
Dari beberapa pandangan diatas dapat kita tarik kesimpulan bahwa modul adalah suatu bahan ajar cetak yang disusun secara sistematis dengan bahasa yang mudah dipahami oleh peserta didik agar peserta didik dapat belajar secara mandiri dengan sedikit bantuan dari pendidik.
Prastowo (2015: 110), mengungkapkan jenis-jenis modul adalah sebagai berikut.
1.      Menurut Penggunanya
Dilihat dari penggunanya, modul terbagi menjadi dua macam, yaitu modul untuk peserta didik dan modul untuk pendidik. Modul untuk peserta didik berisi kegiatan belajar yang dilakukan oleh peserta didik, sedangkan modul untuk pendidik berisi petunjuk pendidik, tes akhir modul, dan kunci jawaban tes akhir modul.
2.      Menurut Tujuan Penyusunannya
a.       Modul Inti
Modul inti modul yang disusun dari kurikulum dasar, yang merupakan tuntutan dari pendidikan dasar umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara Indonesia.
b.      Modul Pengayaan
Modul pengayaan adalah modul dari peyusunan unit-unit program pengayaan yang berasal dari program pengayaan yang bersifat memperluas (dimensi horizontal) dan/atau memperdalam (dimensi vertikal) program pendidikan dasar yang bersifat umum tersebut.
Prastowo (2015: 118) juga mengungkapkan langkah-langkah penyusunan modul adalah sebagai berikut.
1.      Analisis Kurikulum
Tahap pertama ini bertujuan untuk menentukan materi-materi mana yang memerlukan bahan ajar. Dalam menentukan materi, analisis dilakukan dengan cara melihat inti materi yang diajarkan serta kompetensi dan hasil belajar kritis yang harus dimiliki oleh peserta didik (critical learning outcomes).
2.      Menentukan Judul Modul
Setelah analisis kurikulum selesai dilakukan, tahapan berikutnya yaitu menentukan judul-judul modul.
3.      Pemberian Kode Modul
Kode modul diperlukan dalam pengelolaan modul. Pada umumnya, kode modul adalah angka-angka yang diberi makna.
4.      Penulisan Modul
a.       Perumusan Kompetensi Dasar yang Harus Dikuasai
Rumusan kompetensi dasar pada suatu modul adalah spesifikasi kualitas yang semestinya telah dimiliki oleh peserta didik setelah mereka berhasil menyelesaikan modul tersebut. Kompetensi dasar yang tercamtum dalam modul diambil dari pedoman khusus kurikulum 2006.



b.      Penentuan Alat Evaluasi atau Penilaian
Poin ini adalah mengenai criterium items, yaitu sejumlah pertanyaan atau tes yang digunakan untuk mengetahui tingkat keberhasilan peserta didik dalam menguasai suatu kompetensi dasar dalam bentuk tingkah laku.
c.       Penyusunan Materi
Materi atau isi modul sangat bergantung pada kompetensi dasar yang akan dicapai.
d.      Urutan Pengajaran
Urutan pengajaran dapat diberikan dalam petunjuk menggunakan modul.
e.       Struktur Bahan Ajar
Struktur modul dapat bervariasi tergantung pada karakter materi yang disajikan, ketersediaan sumber daya, dan kegiatan belajar yang bakal dilaksanakan.
4.      DDR (Didactical Design Research)
Didaktis adalah sesuatu yang menjadi penekanan dalam pembelajaran. Analisis didaktis sebelum pembelajaran, difokuskan pada hubungan tiga serangkai antara guru, siswa, dan materi sehingga dapat menjadi arahan dalam pelaksanaan pembelajaran. Hasil analisis didaktis digunakan untuk proses pembuatan rancangan atau desain.
Desain didaktis merupakan desain bahan ajar matematika yang memperhatikan respon siswa. Sebelum proses pembelajaran, biasanya guru membuat rancangan pembelajaran agar urutan aktivitas dan situasi didaktis dapat diupayakan sesuai dengan yang telah direncanakan. Dalam mengembangkan desain didaktis, aktivitas guru dirancang bukan hanya untuk berfokus kepada siswa maupun materi pembelajaran tetapi pada hubungan antara siswa dengan materi pembelajaran.
Penelitian Didactical Design Reasearch (DDR) adalah penelitian yang berdasarkan hasil analisis pada fase berfikir pendidik saat pembelajaran. Dimana terdapat tiga fase yaitu sebelum pembelajaran, pada saat pembelajaran berlangsung dan setelah pembelajaran. Suryadi (2013: 1)

Terdapat tiga tahap dalam DDR:
1.      Analisis situasi didaktis sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa Disain Dedaktis Hipotesis termasuk Antisipasi Didaktis dan Pedagogis (ADP).
Pada tahap ini yang dilakukan pendidik sebelum pembelajaran berupa pemikiran pendidik tentang prediksi dan antisipasi terhadap respons siswa yang akan muncul pada situasi didaktis yang akan dimunculkan pada saat pembelajaran. Suryadi (Martadiputra, 2013: 98).
2.      Analisis metapedadidaktik.
Pada tahap ini dilakukan analisis saat pembelajaran yang dilakukan pendidik berupa kemampuan pendidik tentang peristiwa pembelajaran untuk memandang antisipasi didaktis pendagogis (ADP), hubungan didaktis (HD) dan hubungan pedagogis (HP) sebagai suatu kesatuan yang utuh seperti digambarkan pada segitiga dedaktis yang termodifikasi. Kemudian, pendidik mengembangkan tindakan sehingga situasi didaktis dan pedagogis sesuai kebutuhan peserta didik tercipta, mengidentifikasi serta menganalisis respons peserta didik yang terkena dampak tindakan didaktis maupun pedagogis dan melakukan tindakan didaktis dan pedagogis lanjutan berdasarkan hasil analisis respons peserta didik menuju target pencapaian pembelajaran.
3.      Analisis retrosfektif, yakni analisis yang mengaitkan hasil analisis situasi didaktis hipotesis dengan hasil analisis hasil metapedadidaktik.
Pada tahap ini pendidik menganalisis terkait hasil analisis didaktis hipotesis dengan hasil analisis metapedadidaktik berupa refleksi setelah pembelajaran.
5.      Teori Belajar David Ausubel
Teori ini dikenal dengan belajar bermaknanya dan pentingnya pengulangan sebelum belajar dimulai. Ausubel membedakan antara belajar menemukan dengan belajar menerima. Pada belajar menerima siswa hanya menerima, jadi tinggal menghafalkannya, tetapi pada belajar menemukan konsep ditemukan oleh siswa, jadi tidak menerima pelajaran begitu saja. Selain itu, pada belajar menghafal, siswa menghafalkan materi yang sudah diperolehnya, tetapi pada belajar bermakna materi yang telah diperoleh itu dikembangkan dengan keadaan lain sehingga belajarnya lebih dimengerti.
Menurut Ausubel (Suherman, 2008: 5) belajar bermakna dapat dilakukan dengan metode ekspositori (ceramah bervariasi) asal keempat ciri kebermaknaan dapat difasilitasi. Variasi dari ekspositori tersebut bisa digabungkan dengan metode penemuan (inquiry) dengan tidak hanya belajar menerima (reception learning) atau belajar menghafal (rote learning).
Selain itu, menurut Ausubel dan Novak (Dahar, 2011: 98),  bahwa ada tiga kebaikan dari belajar bermakna, yaitu:
a.       Informasi yang dipelajari secara bermakna lebih lama diingat.
b.      Informasi baru yang telah dikaitkan dengan konsep-konsep yang relevan sebelumnya dapat meningkatkan konsep yang telah dikuasai sebelumnya sehingga memudahkan proses belajar mengajar berikutnya.
c.       Informasi yang telah dilupakan setelah pernah dikuasai sebelumnya masih meninggalkan bekas sehingga memudahkan proses belajar mengajar untuk materi pelajaran yang mirip walaupun telah terjadi “lupa”.
6.      Kemampuan Pemahaman Matematis
Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan menyerap dan memahami ide-ide matematika (Lestari dan Yudhanegara, 2015: 81). Indikator kemampuan pemahaman matematis, yaitu:
a.       Mengidentifikasi dan membuat contoh dan bukan contoh.
b.      Menerjemahkan dan menafsirkan makna symbol, table, diagram, gambar, grafik, serta kalimat matematis.
c.       Memahami dan menerapkan ide matematis.
d.      Membuat suatu ekstrapolasi (pemikiran).
Menurut Hendriyana dan Soemarmo (2014: 19) istilah pemahaman Asesmen sebagai terjemahan dari istilah mathematical understanding berbeda dengan jenjang memahami dalam toksonomi Bloom. Dalam taksonomi Bloom, secara umum indikator memahami matematik meliputi: mengenal dan menerapkan konsep, prosedur, prinsip dan idea matematika dengan benar pada kasus sederhana. Beberapa pakar menggolongkan tingkat kedalaman tuntutan kognitif pemahaman matematik dalam beberapa tahap.
Polya (Hendriyana dan Soemarmo, 2014: 20) membedakan kemampuan pemahaman menjadi empat tingkat, yaitu:
a.       Pemahaman mekanikal: dapat mengingat dan menerapkan sesuatu secara rutin atau perhitungan sederhana;
b.      Pemahaman induktif: dapat mencobakan sesuatu dalam kasus sederhana dan tahu bahwa sesuatu itu berlaku dalam kasus serupa;
c.       Pemahaman rasional: dapat membuktikan kebenaran sesuatu;
d.      Pemahaman intuitif: dapat memperkirakan kebenaran sesuatu tanpa ragu-ragu, sebelum menganalisis secara analitik.
Pollatsek ( Hendriyana dan Soemarmo, 2014:  20) menggolongkan pemahaman dalam dua tingkatan yaitu:
a.       Pemahaman komputasional: menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana, dan mengerjakan perhitungan secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong kemampuan tingkat rendah.
b.      Pemahaman fungsional: mengaitkan suatu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya, dan menyadari proses yang dikerjakannya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.
Skemp (Hendriyana dan Soemarmo, 2014: 20) menggolongkan pemahaman dalam dua tingkatan yaitu:
a.       Pemahaman instrumental: hafal sesuatu secara terpisah atau dapat menerapkan sesuatu pada perhitungan rutin/sederhana, mengerjakan sesuatu secara algoritmik. Kemampuan ini tergolong kemampuan tingkat rendah.
b.      Pemahaman relasional: mengaitkan suatu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.
Copeland (Hendriyana dan Soemarmo, 2014: 20) menggolongkan pemahaman dalam dua tingkatan yaitu:
a.       Knowing how to: mengerjakan suatu perhitungan secara rutin/algoritmik. Kemampuan ini tergolong kemampuan tingkat rendah.
b.      Knowing: mengerjakan suatu perhitungan secara sadar. Kemampuan ini tergolong pada kemampuan tingkat tinggi.
Dalam penelitian ini, kemampuan yang akan diteliti yaitu menurut Skemp yang indikatornya yaitu:
a.       Pemahaman instrumental
Rumusan indikator pemahaman instrumental mencakup: (1) Kemampuan menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari; (2) Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma; (3) Kemampuan memberikan contoh atau counter example dari konsep yang telah dipelajari.
b.      Pemahaman relasional
Rumusan indikator pemahaman relasional mencakup: (1) Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika; (2) Kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal matematika).
Adapun contoh soal yang berkaitan dengan indikator pemahaman matematis di atas pada materi perbandingan yaitu sebagai berikut.
a.       Kemampuan menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari
Contoh soal:
Diketahui skala suatu peta 1 : 1.500.000. Jika jarak kota A ke kota B pada peta tersebut 6 cm, tentukan jarak sebenarnya kota A ke kota B.
Soal tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari, karena siswa diharapkan dapat menyelesaikan soal tersebut dengan mengubahnya ke bentuk konsep yang diketahuinya.
b.      Kemampuan menerapkan konsep secara algoritma
Contoh soal:
Jarak antara kota A dan kota B alah 350 km. Tentukan jarak kedua kota tersebut pada peta dengan skala 1 : 650.000.
Soal tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan menerapkan konsep secara algoritma, karena siswa diharapkan dapat menyelesaikan perhitungan yang sederhana secara algoritmik.
c.       Kemampuan memberikan contoh atau counter example dari konsep yang telah dipelajari
Contoh soal:
Sebuah peta dibuat sehingga jarak 4 cm mewakili 60 km. Tentukan
a.       besar skalanya:
b.      jarak sebenarnya, jika jarak pada peta 12 km:
c.       jarak pada peta, jika jarak sebenarnya 645 km.
Soal tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan memberikan contoh atau counter example dari konsep yang telah dipelajari, karena siswa diharapkan dapat menyelidiki permasalahan berdasarkan pemahamannya terhadap konsep materi.
d.      Kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika
Contoh soal:
Jarak antara dua kota dapat ditempuh dengan mobil selam 1 jam dengan kecepatan rata-rata 90 km/jam. Buatlah table dari data tersebut, kemudian gambarlah grafiknya.
Soal tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, karena siswa diharapkan dapat menyelesaikan soal tersebut secara sistematis sesuai aturan agar dapat mengubah tabel ke dalam bentuk grafik.



e.       Kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal matematika).
Contoh soal:
Sebuah foto berukuran lebar 8 cm dan tinggi 12 cm akan dibuat bingkai dengan lebar 16 cm. Tentukan factor skala dan tinggi bingkai foto tersebut.
Soal tersebut dikategorikan ke dalam indikator kemampuan mengaitkan berbagai konsep (internal dan eksternal matematika), karena siswa diharapkan dapat menyelesaikan soal tersebut dengan cara mengaitkannya terhadap konsep persamaan linear satu variabel.
7.      Materi Perbandingan
Berdasarkan latar belakang yang disajikan oleh penulis, penulis hendak menyusun bahan ajar berbasis pemahaman matematis pada materi perbandingan. Khususnya pada kompetensi dasar menggunakan perbandingan untuk pemecahan masalah. Dimana kemampuan prasyarat yang seharusnya dikuasai siswa sebelum belajar kompetensi dasar ini adalah siswa sudah dapat memahami tentang operasi hitung pada pecahan.
Subbab dalam materi perbandingan adalah:
1.      Gambar berskala
2.      Bentuk-bentuk perbandingan
3.      Memecahkan masalah sehari-hari yang berkaitan dengan konsep perbandingan.
Desain didaktis yang dibuat ini bertujuan untuk mengurangi kesulitan belajar dalam materi perbandingan. 
H.    Metodologi Penelitian
1.      Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan suatu alternatif desain pembelajaran terkait materi perbandingan yang dilatarbelakangi oleh adanya learning obstacle khususnya hambatan epistimologis pada materi perbandingan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif.
Metode kualitatif dinamakan sebagai metode baru, karena popularitasnya belum lama, dinamakan metode postpositivistik karena berlandaskan pada filsafat postpositivisme. Metode ini disebut juga sebagai metode artistik, karena proses penelitian lebih bersifat seni (kurang terpola), dan disebut sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interprestasi terhadap data yang ditemukan dilapangan (Sugiyono, 2015: 13-14).
2.      Desain Penelitian
Desain merupakan kerangka atau rancangan, pola yang menggambarkan alur dan arah penelitian sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research). Menurut Suryadi (2010: 12) Penelitian Desain Didaktis (Didactical Design Research) adalah penelitian yang dilaksanakan melalui tiga tahapan, yaitu:
a.      Analisis Situasi Didaktis
Tahap analisis situasi didaktis yaitu sebelum pembelajaran yang wujudnya berupa desain didaktis hipotesis termasuk ADP analisis situasi didaktis.
1.      Menentukan materi bahan ajar yang akan dijadikan bahan penelitian dalam hal ini materi yang dipilih adalah materi perbandingan.
2.      Mencari data atau literature yang relevan tentang materi terkait materi perbandingan.
3.      Mempelajari dan menganalisis materi yang telah ditentukan.
4.      Menganalisis learning obstacle materi perbandingan dengan menggunakan soal-soal yang telah disusun berdasarkan dengan indicator kemampuan pemahaman matematis sehingga dapat memunculkan peserta didik mengenai materi perbandingan.
b.      Analisis metapedadidaktik
Tahapan analisis metadidaktik yaitu tahapan pada saat pembelajaran berlangsung.
1.      Menganalisis hasil uji coba instrumen learning obstacle dengan menghitung persentase banyaknya siswa yang mampu mencapai indikator kemampuan representasi matematis.
2.      Membuat kesimpulan mengenai learning obstacle yang muncul berdasarkan hasil pengujian dengan mengaitkan konsep-konsep prasyarat.
3.      Menyususn bahan ajar berdasarkan learning obstacle yang telah ditemukan dengan memperhatikan kompetensi matematika yang dapat dikembangkan.
4.      Mengimplementasikan bahan ajar yang telah disusun.
Karena penelitian yang akan dilakukan peneliti hanya sampai tahap validiasi ahli maka penulis melakukan penelitian sampai tahap metapedadidaktik.
3.      Subjek Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di SMP N 2 Sliyeg dengan subjek penelitian kelas VII semester II.
4.      Instrumen Penelitian
Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah tes, dan observasi.
a.       Tes
Instrumen tes digunakan untuk mengidentifikasi hambatan atau kekeliruan. Instrumen tes tersebut disusun berdasarkan indikator-indikator kemampuan pemahaman matematis menurut skemp yang dikaitkan dengan materi perbandingan.
Bentuk tes yang digunakan adalah tes uraian. Bentuk tes uraian digunakan agar kemampuan pemahaman matematis siswa dalam menyelesaikan persoalan dapat terlihat dengan jelas, yaitu dapat menerapkan suatu konsep dan mengaitkan suatu konsep dengan yang lainnya.
Dalam pengolahan tes yang baik perlu diperhatikan baik atau buruknya soal yang akan digunakan dalam tes tersebut. Untuk menyelidiki baik buruknya soal harus dilakukan uji coba. Uji coba instrument tersebut meliputi tingkat validitas, reliabilitas, daya pembeda dan indeks kesukaran.
a.      Menentukan validitas soal
Menurut Sugiyono (2015: 173) instrumen yang valid berarti alat ukur yang digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur.
Dalam penentuan tingkat validitas butir soal maka rumus korelasi yang digunakan yaitu rumus Pearson Produk Moment dengan angka kasar, menurut Arikunto (2010: 171) menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
= Koefisien korelasi antara variabel X dan Y
X  = Nilai hasil uji coba
Y  = Skor total tiap responden
N  = Banyak siswa yang mengikuti tes
Tabel 1
Klasifikasi Koefisien Validitas
No.
Nilai
Interpretasi
1.
0,80 ≤  ≤ 1,00
Validitas sangat tinggi
2.
0,60 ≤ < 0,80
Validitas tinggi
3.
0,40 ≤ <0,60
Validitas sedang
4.
0,20 ≤ < 0,40       
Validitas rendah
5.
0,00 ≤ < 0,20       
Validitas sangat rendah

Arikunto (2012: 89)


b.      Menentukan Reliabilitas Soal

Menurut Sugiyono (2015: 173) instrument yang reliabel adalah instrument yang bila digunakan beberapa kali untuk mengukur objek yang sama akan menghasilkan data yang sama.

Menurut Arikunto (2012: 122) untuk menghitung reliabilitas soal dapat menggunakan rumus Alpha Cronbach, yaitu:

Keterrangan:
n  = Banyak butir soal (item)
 = Jumlah varians skor tiap item
 = Varians skor total
Sedangkan untuk menghitung varians skor digunakan rumus:
Keterangan:
N = Banyaknya sampel/peserta tes.
 = Skor butir soal ke – i
 = Nomor soal
Tabel 2
Klasifikasi Koefisien Reliabilitas
No.
Nilai
Interpretasi
1.
0,90 ≤  ≤ 1,00
 Sangat Tinggi
2.
0,70 ≤ < 0,90
Tinggi
3.
0,40 ≤ <0,70
Sedang
4.
0,20 ≤ < 0,40
Rendah
5.
< 0,20
Sangat Rendah
Sumber: Jihad dan Haris (2012: 181)

c.         Menentukan Daya Pembeda

Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (kemampuan rendah) (Arikunto, 2012: 226).
Artinya, jika soal tersebut diberikan kepada siswa yang mampu, hasilnya menunjukkan prestasi yang tinggi dan jika diberikan kepada siswa yang lemah hasilnya menunjukkan prestasi yang rendah. Adapun untuk menghitung daya pembeda menurut Jihad dan Haris (2012: 189) menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
 daya pembeda
 = jumlah sekor kelompok atas pada butir soal yang diolah
 = jumlah skor kelompok bawah pada butir soal yang diolah
 = jumlah siswa dari kelompok atas dan kelompok bawah
 = skor maksimal
Tabel 3
Klasifikasi Daya Pembeda
No.
Daya Pembeda
Interpretasi
1.
DP  ≤ 0,19
Jelek
2.
0,20 ≤  DP < 0,29
Minimum
3.
0,30 ≤  DP < 0,39
Cukup baik
4.
DP  0,40
Sangat baik
Ruseffendi (Jihad dan Haris, 2012: 181)

d.      Menentukan Indeks Kesukaran

Menurut  Arifin (2014: 134) tingkat kesukaran soal adalah peluang untuk menjawab benar suatu soal pada tingkat kemampuan tertentu yang biasanya dinyatakan dengan indeks. Indeks ini biasanya dinyatakan dengan sebuah bilangan yang menunjukkan sukar dan mudahnya suatu soal.
Untuk menghitung indeks tingkat kesukaran soal menurut Jihad dan Haris (2012: 182) menggunakan rumus sebagai berikut.
Keterangan:
 = Indeks kesukaran
 Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab benar
 Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab benar
 = Jumlah siswa kelompok atas dan kelompok bawah
 = skor maksimal
Tabel 4
Klasifikasi Indeks Kesukaran
No.
Indeks Kesukaran
Interpretasi
1.
0,00 ≤  IK < 0,30
Sukar
2.
0,31 ≤  IK < 0,70
Sedang
3.
0,71 ≤ IK< 1,00
Mudah
Arikunto (2012: 225)
b.       Observasi
Menurut Arikunto (2010: 271), penggunaan format pengamatan sebagai instrument adalah cara yang palig efektif dalam menggunakan metode observasi.
5.      Teknik Pengumpulan Data
Teknik pemgumpulan data dalam penelitian ini berupa studi lapangan dan studi literatur. Secara khusus teknik pengumpulan data berupa tes dan observasi.
Lembar instrumen berupa tes ini berisi soal-soal tes yang terdiri atas butir-butir soal. Setiap butir soal mewakili satu jenis variabeL yang diukur. Tes dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta didik mampu mencapai pembelajaran menggunakan kemampuan pemahaman. Observasi dilakukan secara langsung selama pengujian soal berlangsung.
6.      Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu:
a.       Analisis Hasil Uji Instrumen Learning Obstacle
Data yang diperoleh sebelum menuju lapangan melalui uji instrument untuk mencari learning obstacle dianalisis dengan menghitung presentase distribusi siswa yang mampu mencapai indikator yang ditetapkan dalam soal.
Menghitung presentase dengan rumus berikut:
Selanjutnya, untuk menghitung presentase seluruh subjek digunakan rumus berikut:
Keterangan:
P       = presentase
F       = jumlah presentase keseluruhan objek
N       = jumlah subjek
Kriteria yang digunakan dalam bahan ajar ini menggunakan skala Likert.
Tabel 5
Kriteria Penskoran Validasi Bahan Ajar

No
Presentase
Interpretasi
1
0% - 20%
Sangat tidak valid
2
21% - 40%
Tidak valid
3
41% - 60%
Kurang valid
4
61% - 80%
Valid
5
81% - 100%
Sangat valid

Sumber: Akdon dan Riduwan (2007: 89)


b.      Analisis Hasil Validasi Bahan Ajar oleh Para Ahli
Hasil validasi oleh masing-masing subyek dihitung prosentasenya. Dapat dihitung dengan menggunakan rumus Akbar (2013: 83)
Keterangan:
= Validasi Ahli
 Total skor empirik yang dicapai (berdasarkan penilaian ahli, atau nilai hasil uji kompetensi yang dicapai siswa).
Total skor yang diharapkan.
Tabel 6
Kriteria Penskoran Validasi Bahan Ajar
No.
Kriteria Validitas
Tingkat Validitas
1.
85,01% - 100,00%
Sangat valid, atau dapat digunakan tanpa revisi
2.
70,01% - 85,00%
Cukup valid, atau dapat digunakan namun perlu direvisi kecil
3.
50,01% - 70,00%
Kurang valid, disarankan tidak dipergunakan karena perlu revisi besar
4.
01,00% - 50,00%
Tidak valid, atau tidak boleh dipergunakan
Sumber: Akbar (2013: 83)
I.        Daftar Pustaka
Akbar, Sa’dun. (2013). Instrumen Perangkat Pembelajaran. Bandung: Remaja
            Rosdakarya.

Akdon  dan Riduwan.  (2007). Rumus  dan Data  Dalam Analisis Statistik. Bandung:
             Alfabeta.

Arikunto, Suharsimi. (2012). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek.
               Jakarta: Rineka Cipta.

Dahar, R. W. (2011). Teori-Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Erlangga.
Gofur, Abdul. (2012). Desain Pembelajaran: Konsep, Model, dan Aplikasi dalam
           Perencanaan Pembelajaran
. Yogyakarta: Ombak.

Hakiim, Lukmanul. (2009). Perencanaan Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.

Hendriana, H dan Soemarmo, U. (2014). Penilaian Pembelajaran Matematika.
                Bandung: Refika Aditama.
Jihad, Asep dan Abdul Haris. (2012). Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi
            Presindo.

Kharimah, U. dan  Muhsetyo G. (2013). Penggunaan Media Peta Untuk
                  Memahamkan Materi Perbandingan Melalui Pembelajaran Kooperatif
                  Tipe Grup Investigasi Pada Siswa Kelas VII-A SMP Negeri 2 Jetis
                  Kabupaten Mojokerto. Jurnal Universitas Negeri Malang, hal 1-13.

Lestari, K E dan Yudhanegara M R. (2015). Penelitian Pendidikan Matematika.
            Bandung: Refika Aditama.

Majid, Abdul. (2013). Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar
          Kompetensi Guru
. Bandung: Remaja Posdakarya.

Prastowo, Andi. (2014). Pengembangan Bahan Ajar Tematik Tinjauan Teoritis
               dan Praktek.
Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Prastowo, Andi. (2015). Panduan Kreatif Membuat Bahan Ajar Inovatif.
                Jogjakarta: Diva Press.

Sardiman. (2016). Interaksi dan motivasi belajar mengajar. Jakarta: Rajawali
               Pres.
Sugiyono. (2015). Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif,
              Kualitatif Dan R&D).
Bandung: Alfabeta.

Suherman, E. (2008). Belajar dan Pembelajaran Matematika Hand-out Perkuliahan.
                 Bandung: Tidak Diterbitkan.

Sumiati dan Asra. (2008). Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima.
Suryadi, Didi. (2013). Didactical Design Reasearch (DDR) dalam Pengembangan
               Pembelajaran Matematika. Seminar UNES. Bandung: FMIPA UPI.
Trianto. (2009). Mendesain model pembelajaran inovatif-progresif: konsep
            landasan, dan implementasinya pada kurikulum tingkat satuan pendidikan
            (KTSP)
. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.


Valindra, Desi. (2015). Desain Didaktis Perbandingan Senilai dan Berbalik Nilai
                pada Siswa SMP Ditinjau dari Learning Obstacle dan Learning Trajectory
.
               Skripsi Sarjana Di FPMIPA UPI Bandung: Tidak Diterbitkan.
Previous Post
Next Post

Seorang lulusan sarjana pendidikan yang sekarang menjadi pengajar di salah satu satuan pendidikan dan seorang guru les di salah satu instansi. Serta sekarang mulai mejadi blogger.

0 Comments: